FANI AFNAN JANNATI (PART 2)
- AWAN HITAM - November 3, 2020
- MENILIK KEBENARAN - June 8, 2020
- JALANAN HAMPA - May 30, 2020
Di ruang yang hampa menyesakkan
Termangu bersama pekat sang malam
Semakin larut semakin menghujam
Semakin dalam tiada bisa tertahan
Kujamah sedikit air kehidupan
Disepertiga malam, titah-Nya kudirikan
Dingin semakin merasuk
Hingga kerelung batinku, ia seakan menusuk
Membeku, kelu lisan tak mampu berucap
Hanya rintik-tintik air mata
Berderai tiada jeda
Membanjiri mukena yang merengkuh jiwa
Bersimpuh menyerah akan kehendak-Nya
Yang tiada bisa diterka
Tidak bisa dibaca
Apa tah lagi diketahui begitu saja
Illahi,
Siapapun ia,
Satu nama yang telah Engkau gariskan
Dekatkan, jika itu jauh
Tumbuhkan, jika itu didasar bumi
Turunkan, jika itu diatas langit
Pun hilangkan segala keraguan
Jika takdir itu telah datang
Waktu terus berjalan, mengahantar Fani pada hari yang ia sendiri belum menemukan jawaban. Hanya melalui doa, ia memohon kemantapan yang mau tidak mau harus ditempuh demi nama baik orang tuanya, meskinpun harus menghancurkan jiwanya, membunuh batinnya, dan menghilangkan segala pengharapan dihidupnya. Atau sebaliknya, ia akan membiarkan dirinya sendiri dan terus sendiri, lenyap dalam kepingan malam yang semakin sunyi dan sepi, mendekap asa dalam lautan tanya tiada berhujung titik labuhan.
“Fan, pakai mukena ini saja,” kata BuSiti seraya menyodorkan mukena berwarna cream.
“Boleh, Bu.Sini, Fani setrika,” jawabku sambil menyetrika pakaian-pakaian yang sudah kering.
“Kita sholat dimana nanti,Bu?” lanjutku.
“Dimasjid samping rumah saja,” jawab Ibu sembari memilih-milih koko untuk Bapak kenakan esok saat sholat Eid.
[Kriing] suara gawaiku berbunyi.Kupikir, Ibu dan Bapak di Bandung meneepon.Jadi, kuhentikan menyetrika dan Ibu melanjutkannya. Ternyata bukan, hanya panggilan masuk dari nomor telepon yang tidak dikenal. Karena penasaran, aku pun mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum,Mbak Fani.” Terdengar suara lembut seorang perempuan disana.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku ragu-ragu.
“Mbak, ini Zizi.Mba masih ingat saya?” tanya nya mengawali pembicaraan.
Zizi adalah seorang wanita yang dulu pernah hadir di hidupku.Ia juga yang mengajarkan arti sebuah keikhlasan itu apa dan bagaimana. Jujur saja, ada rasa tak percaya bahwa yang meneeponku dirinya, seorang wanita yang aku sendiri tak lagi ingin mendengar kabarnya. Seolah gambaran tentangnya hanya ilusi, tiada penting untuk dicari dan diingat kembali. Rasa amarah dan kebencian seakan semua tertuju padanya. Ialah yang seakan merenggut Hanafi, lelaki yang dulu pernah aku hadiahi segenggam hati, seutas rasa ketulusan tak berhasta.
“Iya, ingat … insyaallah. Mbak Zizi bagaimana kabarnya?” jawabku dengan tegar, menahan kepedihan dan rasa sakit begitu menghujam yang seketika datang menikam.
“Alhamdulillah baik, Mbak Fani bagaimana?” tanyanya balik.
“Alhamdulillah, ada apa ya,Mbak?” jawabku to the point pada tujuan ia menelpon.
“Ini, Mbak. Zizi mau menyampaikan kabar, sekaligus turut mengundang. Insyaallah Syawal ini, tepatnya hari kesepuluh Idul Fitri, Zizi akan melangsungkan pernikahan.”
“Alhamdulillah, semoga lancar sampai hari H,” jawabku dengan nada tegar. Tapi kenyataan dibalik itu semua, seperti petir menyambar disiang hari, meruntuhkan langit-langit hati yang belum sempat kokoh kuberi benteng disetiap pilarnya. Mungkin inilah pembelajaran yang nyata, mengenai keikhlasan sesungguhnya, melepaskan genggaman, meski sesungguhnya lengan itu kosong. Seperti halnya napas ini milik-Nya, ia pun “Ahmad Hanafi” adalah insan-Nya.
“Mohon doanya, ya,Mbak,” lanjutnya kembali.
“Insyaallah, semoga segala kebaikan menyertai Mbak dan calon suami.” begitu kataku dari balik telepon yang aku genggam dan hampir terjatuh. Aku tak mesti bertanya siapakah lelaki itu, tentu ialah Ahmad Hanafi, seorang pemuda yang telah aku maafkan, yang harus aku ikhlaskan.
“Aamiin. Semoga Mbak bisa datang ke Surabaya,” tuturnya.
“Insyaallah, Mbak. Sebenarnya pada hari itu saya masih di Jambi, dan akan terbang ke Bandung hari ke-12.Jika Allah berkenan,insyaallah saya akan datang ke Surabaya.” Dalam hati, aku berkata sendiri, apakah aku mampu datang ke sebuah kota yang harusnya tidak ada dalam peta? Apakah harus kaki ini melangkah mengunjungi kota yang disana hiduplah Hanafi dan keluarganya. Tidak mungkin, sungguh, pasti aku tak sanggup.
“Terimakasih, ya, Mbak.Maafkan Zizi, semoga kebahagian juga menyertai Mbak. Assalamu’alaikum.” Begitu Zizi mengakhiri telpon.
“Wa’alaikumsalam Warohmatullahi Wabarokatuh,” jawabku mengakhiri.
Remuk batin dan jiwaku, kali ini rasanya seakan tak mampu berdiri. Berulangkali ku meyakinkan hati, meredam amarah yang kian membuncah, menahan tangis yang seakan ingin pecah, tetapi tak mungkin kujatuhkan.Aku malu pada Ibu, jika sekiranya ia tahu hanya karena seorang lelaki aku menangis. Namun, beningnya jatuh juga menitik tiada terasa. Sembari ku-azzamkan tekad dalam hati, akan kujawab semua pertanyaan yang datang menghampiri, supaya tiada yang kecewa, agar aku tiada menggores luka. Biarsaja, cukup aku yang merasakannya.
***
Malam Idul Fitri di saat semua orang merayakan kemenangan, aku masih terdiam dalam kekalahan. Aku telah kalah melawan batinku sendiri. Peperangan yang hebat semakin terjadi disana, darah yang tertumpah, sayatan menebas semua senyuman. Dalam hancurnya hati, aku menelpon Bapak di Bandung.
“Assalamu’alaikum,Pak.”
“Wa’alaikumsalam. Bapakmu masih di masjid,Nduk,” jawab Ibu dari telepon.
“Taqoballahu minna wa minkum,maafkan Fani lahir dan batin, ya,Bu.”
“Inggih, Nduk, sama-sama. Kenapa suaramu terdengar murung? Kamu lagi sakit, Nak?” tanya Ibu.
“Ndak, Bu. Fani sehat. Justru Fani mau mengabari Ibukalo Fani sudah mengambil keputusan.”
“Jadi bagaimana?”
“Ibu, tolong sampaikan pada Bapak, Fani mau menerima Abdullah. Lagipula, Fani kenal beliau.Beliau juga orang yang baik, paham agama, dan dari keluarga yang sederhana.”
“Nah, alhamdulillah kalo begitu,” jawab Ibu dengan girang.
“Insyaallah Fani akan terbang ke Bandung lebih cepat, Bu. Mungkin lebaran hari kelima.”
“Lha … bukannya hari kesepuluh Andi dan keluarga mau datang kesana?”
“Iya, Bu. Cuma buat apa Fani memberikan harapan yang Ibu sudah tahu, Fani sudah mengambil keputusan ini.”
“Baiklah, jika menurutmu itu baik.Tapi pesan Ibu, kamu bilang baik-baik pada Ibu dan Bapak angkatmu disitu, jangan sampai mereka kecewa karena keputusanmu ini.”
“Nggih, Bu. Insyaallah pasti mereka paham. Lagipula, Fani juga kan belum pernah ketemu dengan yang namanya Andi.Jujur Fani justru khawatir membuat orang berpengharapan kemudian kecewa, bukankan lebih baik sebelum semuanya kepalang basah, Fani harus bisa menyelesaikan satu per satu?” jelasku panjang.
“Ya sudah, nanti Ibu sampaikan ke Bapak mu.Ini Ibu lagi siapkan kue-kue untuk besok.Nanti dilanjut lagi, ya,Nduk.”
“Nggih,Bu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Telepon pun berakhir. Di luarkamar terdengar riuh ramai suara-suara yang tak kukenal. Tiba-tiba, Ibu Siti masuk kekamar yang tidak terkunci.
“Disini ternyata Fani.Ayok keluar, banyak keluarga disana sedang kumpul.”
“Ayok, Bu,” jawabku menarik napas semangat sembari meraih jilbab yang tergantung dan langsung kukenakan.
Ada kehidupan dimalam yang Fitri
Semua orang seakan terlahir kembali
Penuh kebahagiaan disertai tawa kemenangan
Kemenangan dari melawan hawa nafsu
Menahan lapar dan haus
Menjaga mata, lisan, dan hati
Semua terasa lengkap malam itu
Hanya aku saja yang tak utuh
Ragaku disana
Namun, jiwa dan hatiku entah kemana
Pikiranku terbang melayang
Menelusuri setiap jejak perkataan
Wanita bersuara lembut
Mengirimkan asap beracun
Yang mematikan cahaya pengharapan
Malam itu juga, setelah semua orang pulang, kuberanikan diri untuk menyampaikan keputusanku pada Ibu dan Bapak. Mulai dari perihal Andi yang intinya aku tidak bisa menerimanya, perihal Farid, adik dari kak Fitri, hingga Abdullah. Tak lupa, aku memohon izin untuk pulang ke Bandung pada hari kelima lebaran ini. Benar, telah bulat tekadku, bukan karena tidak ada keraguan pada Abdullah, melainkan hanya karena aku berpasrah, sebagai pertimbangannya juga karena Abdullah tinggal dan bekerja sebagai guru agama di Madrasah Aliyah di Bandung, sangat mendukungku untuk dekat dengan Ibu dan Bapak bila menikah dengannya.
Tiada kusangka, Ibu sangat menghargai keputusan yang kuambil.Ia hanya berdoa semoga kebahagiaan menyertai semua keputusan yang telah kuambil dan harus kutempuh.
Tulisan ini telah lulus review oleh editor dan layak publish.
Copyright © Al Right Reserved 2020
Writing Prodigy Academy
Comments are closed.