PESAN IBU BERTULISKAN ARANG
- PESAN IBU BERTULISKAN ARANG - August 4, 2020
“Bu, bisa perbaiki rumah nenek yang bocor? Aku mau tinggal di sana sama adik,” ucap Naya kepada ibunya saat beliau pulang kampung dari perantauan menjenguk anak-anaknya.
“Mana mungkin kamu dan adikmu tinggal di sana, Naya? Apa kamu bisa?” jawab ibu kaget ketika mendengar Naya.
Wajar ibu kaget. Saat itu, Naya baru kelas empat SD dan adiknya laki-laki kelas dua SD. Naya dan adiknya selisih satu setengah tahun saja. Tapi, ia cepat masuk sekolah. Jadi waktu itu, umur Naya sekitar sepuluh tahun. Bagaimana ibunya akan percaya kalau Naya bisa tinggal sendiri mengurus adiknya di rumah neneknya yang kosong.
Dari kelas satu SD sampai kelas tiga, Naya selalu pindah-pindah tinggal di rumah saudara bapak dan ibunya. Bahkan, sekolahnya saja pindah tiga kali sampai kelas empat SD. Bapak dan ibunya merantau ke sebuah dusun yang ada di Kerinci. Naya tinggal di Sumatera Barat, di sebuah kampung di daerah pesisir. Ibu dan bapaknya berkebun di tanah orang di Kerinci dengan sistem bagi hasil.
Naya sangat ingin bersekolah. Sementara di Kerinci, ibunya tinggal di ladang yang sangat jauh dari keramaian. Tidak ada sekolah di sana. Pun sangat jauh di kota, jarak tempuh lebih kurang empat jam jalan kaki untuk pergi. Melewati turun naik bukit-bukit dan harus menempuh jembatan batang Merangin.
Sebuah jembatan yang panjang dan di bawahnya mengalir sungai yang sangat deras. Kalau kita jalan di jembatan itu, ada efek berayun yang sangat kuat. Kalau tidak biasa, akan sulit menempuhnya. Jembatan yang beralaskan kayu. Lumayan banyak yang lapuk pada masa itu. Seandainya jatuh, tidak akan selamat. Tapi, kondisi seperti itulah yang ditempuh para petani di sana jika tiba hari pekan mau pergi ke pasar untuk menjual hasil kebun dan membeli beras serta berbagai macam kebutuhan untuk satu minggu.
Mereka tidak hanya berjalan dengan tangan kosong. Rata-rata membawa beban tujuh puluh sampai seratus kilo. Entah itu kayu manis ataupun kopi hasil kebun yang akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Begitu juga dengan bapak Naya. Seringkali membawa kayu manis di kepala dengan berat seratus kilo.
Pendakiannya tinggi dan sangat curam. Turunannya juga terjal dan licin. Kaki mencengkeram di batu dan akar kayu. Tidak akan bisa memakai baju cantik. Dari ladang, harus pakai baju biasa dulu. Lalu sesampainya di seberang, mandi dan ganti baju. Baru bisa naik mobil angkutan menuju pasar. Entah itu pasar Kamis atau pasar Rabu.
Mengerikan jika membayangkannya. Jadi bagaimana Naya akan bersekolah di sana? Tanpa orang tua, mana bisa ia menempuh jalan itu. Jalan yang sangat berbahaya. Di jalan, juga sering ketemu monyet, kera, bahkan babi hutan.
Maka akhirnya, Naya tinggal di kampung dan dititipkan ke saudara bapaknya. Awalnya, ibu dan bapaknya berniat untuk tidak menyekolahkan Naya, tapi Naya tidak mau. Ia punya cita-cita walaupun tidak tinggi. Setidaknya, ia tidak jadi kuli tani seperti bapak dan ibunya. Akhirnya, Naya harus rela hidup terpisah dari orang tuanya.
Kelas satu SD, Naya dititipkan ke kakak perempuan bapaknya yang nomor dua. Mereka tinggal di kampung yang berbeda. Sekitar jarak tempuh lebih kurang satu jam dari kampung ibunya kalau memakai sepeda. Satu tahun Naya tinggal di sana.
Naya memanggilnya bibi. Keluarga bibinya juga bukan orang berada. Jadi ketika tinggal di sana, ia harus ikut bantu-bantu apapun yang bisa ia lakukan walaupun bapaknya meninggalkan beras dan uang jajan yang cukup untuknya.
Naya kebagian tugas menyapu halaman dan mencuci piring setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Itu sudah menjadi tugas rutinnya setiap pagi. Beda sekali dengan anak zaman sekarang. Zaman sekarang, kelas satu SD belum tau apa-apa, bahkan sekolah saja harus diantar.
Pulang sekolah, Naya kadang ikut ke ladang sama bibi dan sepupunya. Bantu-bantu sambil bermain. Ya, anggap saja itu bermain di masa kecil. Pulangnya bawa kayu api di kepala. Masa kecil yang indah, bukan? Banyak sekali kisah sedih maupun bahagia. Tetapi yang pasti, Naya ikhlas dan bersyukur atas segala kisah hidup dengan cerita pahit manisnya, yang penting ia bisa bersekolah.
Kelas dua SD, Naya dititipkan ke kakak perempuan bapaknya yang pertama. Naya memanggilnya mak tua. Hidupnya juga prihatin. Seperti biasa, Naya juga harus bantu-bantu. Di sana, Naya sudah mulai belajar memasak. Tugasnya sebelum sekolah adalah masak nasi, air, dan membersihkan rumah. Kebetulan saat kelas dua SD, Naya masuk jam sepuluh siang.
Bajunya dicuci sendiri oleh Naya. Setrika juga sendiri. Zaman itu, nyetrika pakai bara api yang dibuat dari arang batok kelapa. Kalau tidak hati-hati, baranya bisa jatuh ke baju dan bikin baju bolong. Nggak kebayang, anak umur segitu sudah mengerjakan itu semua. Tapi, nasib membuatnya harus melakukan itu semua.
Sering kali, Naya tidak jajan sekolah. Bukan karena orang tuanya tidak mengirim uang, tapi uang kiriman orang tuanya dipakai oleh maktuanya untuk beli beras dan kebutuhan masak. Jadi, Naya jarang kebagian uang jajan. Tapi, Allah seringkali mengirimkan pertolongan lewat tangan-tangan manusia sehingga di sekolah, Naya dibeliin jajan oleh teman dekatnya.
Naya anak yang pengertian. Ia tau diri tinggal di rumah orang. Ia tidak hanya diam, tapi membantu apa yang bisa dibantu dan selalu begitu. Berharap orang di rumah itu menyayanginya. Mak tua Naya dan suaminya punya usaha membuat bata merah. Sepulang sekolah, Naya juga membantu di gudang bata tersebut. Entah menyusun atau mengangkat bata yang kering ke tempat pembakaran.
Jika musim cengkeh berbuah, Naya pergi ke ladang bersama mak tua untuk memetik cengkeh. Naya kecil sangat lincah memanjat hingga ke dahan paling atas bisa ia capai untuk memetik cengkeh-cengkeh yang ada di pucuk daun. Dari panen cengkeh tersebut, Naya mendapatkan upah memetik. Kadang satu liter, dua liter, atau tiga liter. Tergantung hasil panen hari itu. Upah memetik berbentuk cengkeh dijual oleh Naya untuk jajan di sekolah. Biasanya uang itu akan awet sangat lama karena dijajankan secukupnya saja agar hari esok, ia masih bisa jajan.
Satu tahun di sana, banyak pelajaran yang bisa diambil olehnya. Pelajaran hidup yang sangat berharga untuk hidup di masa yang akan datang. Walau anak kelas dua SD, tapi pola pikir Naya sudah lebih dewasa dari umurnya dikarenakan pengalaman hidup yang ia jalani.
Ketika Naya kelas tiga SD, ia minta pindah sekolah ke kampung ibunya. Di sana, ia tinggal bersama kakak perempuan ibunya. Naya memanggilnya amak. Ia seorang janda anak satu. Anaknya perempuan, sudah gadis remaja. Tinggal bersama amak di kampung ibunya, Naya juga tetap harus bantu-bantu karena amaknya bukan orang berada. Setiap hari, amaknya membuat kerupuk singkong dan dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi sepulang sekolah, Naya akan membantu menjemur kerupuk sambil menunggu amaknya memasak untuk makan siang.
Saat itu, adik Naya sudah sekolah kelas satu SD. Ia juga tinggal di sana dan ikut membantu bersama Naya menjemur kerupuk. Begitu setiap harinya. Jika hari Minggu tiba, Naya akan ikut bersama amak ke kebun orang membeli singkong untuk diolah menjadi kerupuk. Kepala Naya yang masih berumur sepuluh tahun itu sudah bisa mengangkat beban singkong setengah karung walau sering kali ia terjatuh guling-guling dan ditimpa singkong karena jalan yang licin dan terjal. Tapi itu semua indah, penuh dengan pelajaran hidup. Naya hanya menjalani skenario hidupnya yang sudah dituliskan oleh Allah ketika ia dilahirkan ke dunia ini. Semua sudah diatur sesuai takdir-Nya, tinggal dinikmati dan dijalani dengan sebaik-baiknya, yang penting ia masih bisa bersekolah. Itu sudah membuatnya bahagia.
Naik kelas empat SD, Naya meminta tinggal sendiri untuk mencoba hidup mandiri. Rumah neneknya tidak jauh dari rumah kakak ibunya. Jadi, masih bisa di pantau. Dengan pertimbangan itu dan melihat keinginan Naya yang kuat, ibunya mengabulkan untuk ia dan adiknya tinggal di rumah neneknya.
Ibunya mulai mencari tukang untuk memperbaiki atap rumah yang bocor. Rumah papan yang beratapkan daun rumbia itu akhirnya diperbaiki hingga layak huni. Di rumah itulah, Naya akan menjalani hidupnya ke depan bersama adiknya. Ia akan menjadi seorang kakak sekaligus menjalani peran seorang ibu untuk adeknya. Bagaimanapun, ibunya masih belum yakin dan khawatir meninggalkan Naya di sana hanya berdua dengan adiknya. Sementara ibunya harus kembali lagi ke Kerinci bersama ayahnya.
“Nak, kamu tidak takut tidur hanya berdua saja di rumah ini dengan adikmu?” tanya ibunya di suatu malam.
“Itu gampang diatur, Bu. Ibu tidak usah khawatir. Naya bisa ajak teman-teman di sini untuk menemani kami tidur sambil Naya ajarin mereka belajar dan membaca Al-Qur’an sebelum tidur. Orang tua mereka pasti mengijinkan,” ucap Naya mantap agar ibunya tidak mengkhawatirkan dirinya dan adiknya.
Tinggal satu hari lagi, ibunya di rumah sebelum kembali ke Kerinci. Ibunya berpesan banyak hal kepada Naya. Ibunya pasti sangat sedih meninggalkan anaknya di rumah sendirian. Tapi, tidak ada pilihan lain, itu juga pilihan Naya demi menggapai cita-citanya agar kelak ia tidak menjadi kuli tani seperti orang tuanya.
Di pagi hari ketika Naya bangun tidur, ia membaca tulisan di dinding papan di rumahnya bertuliskan arang. Ternyata itu ditulis oleh ibunya. Naya membaca pesan itu sambil meneteskan air mata.
Naya pulang sekolah harus mencuci baju dan memasak …
Pesan itu ditulis di dinding kamar yang menghadap pintu masuk. Jadi ketika masuk rumah, akan terbacalah tulisan itu. Hari itupun, ibunya harus meninggalkan Naya kembali. Ibunya memberinya uang untuk membeli keperluan sehari-hari. Naya harus bisa mengatur uang tersebut sampai ibunya mengirimkan uang lagi.
Setiap pulang sekolah, Naya membaca pesan ibunya yang bertuliskan arang sebagai pengingat baginya agar ia tidak bermain sepulang sekolah. Ada tugas sebagai seorang kakak sekaligus ibu yang harus diperankannya. Jadi setelah ia ganti baju seragam, Naya akan memasak terlebih dahulu. Lalu, ia dan adiknya makan. Sorenya, ia mencuci baju yang sudah kotor. Karena pagi ia sekolah, jadi tidak bisa mencuci pakaian di pagi hari.
Sesuai janjinya kepada ibunya, malam hari ia mengajak teman-temannya yang seumuran dan teman-teman adiknya anak kelas satu dan kelas dua SD untuk menginap di rumah menemani mereka sambil belajar bersama. Orang tua mereka mengijinkan dengan senang hati.
Mengajari mereka berhitung dan membaca tentu tidak sulit bagi Naya karena ia adalah anak yang berprestasi di sekolahnya. Peringkat pertama selalu ia pegang dari kelas satu SD. Bermodalkan kapur yang ia minta kepada guru di sekolah, ia mengajak anak-anak di sekitar rumahnya untuk belajar bersamanya.
Anak laki-laki akan tidur dengan adiknya di kamar depan. Anak perempuan tidur bersama Naya dikamar belakang. Begitulah keseharian Naya dalam proses mewujudkan cita-citanya. Pesan ibu yang bertuliskan arang menjadi alarm pengingat baginya agar ia tidak lalai dalam tugasnya sepulang dari sekolah. Pesan itu tertulis abadi di dinding hingga ia selesai sekolah SD dengan prestasi yang membanggakan orang tua.
Tulisan ini telah lulus review oleh editor dan layak publish.
Copyright © Al Right Reserved 2020
Writing Prodigy Academy
Comments are closed.