Cerpen

ANARKI LIGA SATU, TAK ADA SEPAK BOLA SEHARGA NYAWA

Rattachuille
Latest posts by Rattachuille (see all)

Karto berteriak dengan semangat saat idolanya mengoper bola dengan baik ke arah gawang lawan. Soraknya menyemangati dengan ambisi agar pemain favoritnya itu kembali membakar energi sebab bola telah keluar dari garis lapangan.

“Karto, nanti kalau sudah selesai, kita langsung pulang, bisnya mau habis kalau jam segini,” sahut kawannya yang sedari tadi meniti waktu dengan melihat jam analog di tangan kirinya.

“Buat apa, toh, Din, pulang cepat-cepat?” tanya Karto yang masih terbawa keseruan para pemain liga di dalam lapangan.

“Aku sudah bilang sama Emak kalau selesai nonton nanti langsung pulang,” jawab Udin. Alisnya turun karena Karto terlihat terlalu asik menikmati permainan di depannya.

“Gooooool! Alah, biyung,” sesal Karto yang sedari tadi sudah berharap bolanya masuk ke dalam gawang lawan namun ternyata gagal.

Semua keseruan ini tak ada artinya dengan alasan sepihak Udin yang harus segera pulang untuk membantu emaknya membungkus jajanan.

Hampir selesai waktu, Udin pun mengajak Karto beralih ke dekat pintu keluar, agar nanti saat acara selesai mereka tak berdesak-desakan dengan suporter lain yang ingin pulang setelah menonton acara pertandingan terbesar itu.

“Apaan, to, Din?” kesal Karto. Karto mengeluh karena Udin menarik tangannya saat pemain favoritnya menggiring bola ke lapangan lawan.

“Ayo kita ke pinggir, To, nanti kalau udah selesai, pasti desak-desakan, kita ndak keluar-keluar nanti,” jawab Udin yang masih mengingatkan Karto terhadap keadaan tribun.

Karena masih kesal dengan kawan dekat rumahnya itu, Karto tak mengindahkan namun tetap menurut saja apa kata Udin yang lebih bijaksana dalam mengambil suatu keputusan.

“Ya! Ya! Goooool!!!”

Sorak Karto beserta semua orang di barisan suporter bagian selatan. Para pemain mereka mencetak satu gol terbaik dalam sejarah liga bola tahun ini.

Tiba-tiba, seorang suporter lawan tak sengaja lewat dan menyinggung pundak Karto. Suporter itu lantas keluar dari pintu selatan tak jauh dari lokasi tribun yang mereka susuri.

Karto yang masih berteriak girang kepada tim bola kebanggaannya pun seketika terdiam. Ia pun menoleh. Tak sengaja ia mengamati Udin yang sama sekali tak berkutik dengan kemenangan tim bola kesayangan mereka.

Karto pun bertanya kepada Udin karena khawatir akan sesuatu yang sedang dialami Udin.

“Din, kenapa? Sakit?” tanya Karto yang mulai menghawatirkan kawan baiknya.

“Gapapa, To, aku senang bisa lihat tim kita menang, aku berharap tahun depan bisa lihat kemenangan kayak gini lagi sama kamu,” ujar Udin dengan senyum tipis menghadap tanah lapang yang besar dan megah itu.

Karena tak paham dengan perkataan kawannya, Karto pun tidak terlalu menghiraukannya. Ia beranggapan bahwa mungkin teman sejawatnya itu memang sedang butuh waktu untuk bahagia dan menikmati keadaan sebentar saja.

Tiba-tiba, tribun besar yang sedang mereka tempati itu berguncang. Seperti ada gempa yang sangat besar, kaki mereka melenggok karena lantai bawah mulai bergetar.

“Aduh! Din, gempa! Ayo keluar!” teriak Karto kepada Udin yang masih tenang dan tersenyum melihat keadaan tim di dalam lapangan.

Semuanya tiba-tiba terlihat aneh di mata Karto. Para pemain masih melanjutkan permainan dengan baik dan terlihat tidak terjadi sesuatu apapun di tengah lapangan. Padahal bangunan terbuka sebesar istana itu hampir roboh dan sekarang sudah mulai terlihat retak.

Debu bangunan mulai menyebar di seluruh tribun, namun semua penonton hanya diam dan tidak ada yang merasa khawatir dengan keselamatan diri mereka.

Segera Karto menutup lubang hidung mengunakan kaosnya. Lebih aneh lagi saat ia mendapati beberapa penonton tidak ada yang terganggu dengan debu gempa besar yang mulai pekat.

Tangannya pun mencoba meraih pundak Udin untuk segera mengajaknya keluar dari atas tribun itu. Namun, Udin sangat kaku. Tak lama kemudian, situasi tribun makin memburuk. Mereka akan terjebak di reruntuhan bangunan jika tidak segera keluar dari situ.

Apesnya, lagi-lagi hal aneh kembali terlihat. Udin yang sedang melihat tribun dengan senyuman sama sekali tak menoleh kepada Karto di sana yang hampir sesak napas.

Baca juga :  TUHAN, TOLONG JEMPUT SAJA AKU

Udin juga ikut terdiam seperti para suporter lain. Ia mematung dan masih berkedip layaknya seseorang yang bahagia namun tak menghiraukan sahabatnya yang sadar akan adanya bahaya yang mengancam mereka. Situasi aneh ini mulai terasa menakutkan bagi Karto. Ia masih menutup lubang hidungnya dengan kaos seadanya.

Karena Udin semakin tak teraih, Karto segera keluar dari kursi penonton melewati pintu keluar yang berada di dekat mereka dengan beberapa kelompok orang saja.

Udin benar, jika terjadi sesuatu, mereka akan mudah melangkah menuju pintu untuk segera keluar dari marabahaya. Namun sayangnya, kali ini Karto gagal membawa sahabat karibnya yang baik itu untuk keluar dari dalam tribun.

Sebelumnya, ia masih melihat laki-laki berisi itu terpaku pada permainan liga dan masih berdiri dengan tenang di atas tribun sana. Ini mungkin menjadi kali terakhirnya mengingat punggung tegap Udin yang masih berdiri menikmati bola.

Beberapa orang memang masih mematung di sana, namun Karto sudah hampir keluar di pintu selatan yang agak ramai oleh beberapa orang lainnya. Sebuah cahaya yang sangat terang tiba-tiba menerjang tubuhnya yang masih berlari.

***

Karto terbangun dan terkejut.

Di sekelilingnya sudah ada relawan medis yang berbondong-bondong memasangkan tali oksigen untuk dirinya dan beberapa korban lain.

Dadanya terasa sesak hampir tak bisa bernapas. Matanya masih buram, bahkan terasa perih. Lendir yang sangat banyak keluar dari mata dan lubang hidungnya.

Seseorang yang berada di sampingnya sudah tak bernyawa karena tak segera mendapat pertolongan. Beberapa wanita muda dan orang tua berlarian untuk mencari air dari para penjual minuman.

Masih terasa perih, Karto ingat bahwa hari ini ia telah kehilangan teman baiknya, si bijak yang selalu perhatian terhadap siapapun, Udin Alfiansyah.

Tragedi yang terjadi hari ini sama sekali tak terpikirkan oleh mereka sebelumnya. Karto hanya mengingat perkataan Udin yang ingin segera pulang untuk membantu emak membungkus jajanan.

Tapi siapa sangka bahwa perkataan Udin tadi adalah peringatan bahwa Karto harus segera sadar karena dia sebenarnya masih dalam keadaan hidup. Karto masih diberi kesempatan untuk menyampaikan pesan perpisahan terakhir Udin kepada emaknya yang ada di rumah.

Perlawanan yang menimpa para suporter hari ini rupanya menjadi satu momen kehilangan yang sangat luar biasa.

Apalagi untuk Karto yang sama sekali tidak terima jika sahabatnya harus meregang nyawa tanpa adanya alasan yang mengadili kehidupannya. Sakit tenggorokannya tak melebihi sakit di dalam hatinya karena ditinggal oleh Udin, sahabat karib yang selalu bermain bola sejak kecil dengannya itu. Ia mulai mengulang waktu yang berlalu saat kemenangan membuat mereka bersorak gembira.

Beberapa saat kemudian, datang seorang wanita dengan mikrofon bulat memberinya sebotol air untuk membasahi kerongkongannya.

“Apa bisa saya bertanya kepada Bapak, bagaimana kronologi yang terjadi didalam tribun sana tadi, Pak?” tanya wanita itu setelah menyodorkan sebotol air mineral.

“Teman saya, mbak!”

“Apa, Pak? Maaf mohon diulangi!”

“Teman saya masih di dalam, Mbak, tolong,” lirih Karto dengan suara serak dan dengan arah telunjuk yang mulai melemah.

Melihat hal itu, seorang relawan medis yang melihatnya segera memberikan pertolongan pertama untuk Karto. Karto segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif karena mengalami iritasi dan sesak napas yang cukup serius.

Kembali Karto teringat saat tragedi maut terjadi di dalam gedung lapangan yang anarkis itu. Udin sengaja mendorongnya keluar agar Karto segera terselamatkan dari timbunan massa yang semakin padat.

Sebelumnya, Karto merasakan perih yang amat sakit di kedua  bola matanya. Hal ini terjadi karena lemparan gas air mata dari pasukan hijau jatuh tepat di depan tubuhnya. Melihat hal itu, Udin segera menarik Karto yang kepanasan sambil sesekali menutup lubang hidungnya sendiri menggunakan kaos.

Karena massa makin berlarian di pintu keluar, Udin makin kesulitan untuk membersamai Karto keluar dari lapangan. Ia tak mampu melawan padatnya massa yang semakin lama semakin berbahaya.

Akhirnya, Udin pun mendorong Karto agar dapat keluar lebih dulu karena sejak awal dialah yang mengajak Karto untuk mendukung tim bola kesayangannya dalam liga satu akhir tahun ini.

Tanpa Karto sadari, ia telah kehilangan Udin saat itu juga. Karto pun pingsan tak berdaya di luar lapangan sedangkan Udin telah meregang nyawa di tengah amukan massa.

(Terinspirasi dari Kisah Nyata di Media)

Mengenang Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022

Rattachuille

Sejak 2019 telah berkecimpung di dunia kepenulisan, telah menerbitkan satu antologi pertamanya berjudul Pohon Kehidupan, diikuti dengan prestasi-prestasi lainnya seperti Melukis Hujan dalam Jejak Kenangan, Aksara Asmara, dan Aksara Semesta. Hobinya adalah makan roti dengan air putih. Jangan lupa semarakkan channel misterinya di akun Youtube Ratta Chuille. “Berkaryalah sebanyak-banyaknya. Karena karya akan tetap abadi meski raga telah terkubur mati.”